Artikel
tentang sumber-sumber hukum dalam Islam versi Ahlussunnah wal Jamaah
(Aswaja):
Sumber-Sumber
Hukum dalam Islam Menurut Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja)
Pendahuluan
Dalam
Islam, hukum-hukum yang mengatur kehidupan umat Islam bersumber dari
ajaran-ajaran yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Kelompok Ahlussunnah
wal Jamaah (Aswaja), yang merupakan mayoritas umat Islam, memiliki
metodologi tersendiri dalam menggali hukum Islam yang bersifat moderat,
seimbang, dan mengedepankan kemaslahatan umat. Aswaja tidak hanya berpegang
pada teks, tetapi juga menggunakan akal sehat dan tradisi dalam batas-batas
syariat.
Berikut
adalah sumber-sumber hukum Islam menurut perspektif Aswaja:
1.
Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber hukum Islam yang
paling utama dan pertama. Ia merupakan wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman hidup umat manusia.
Dalam
pandangan Aswaja:
- Al-Qur’an adalah sumber
hukum yang mutlak benar.
- Segala hukum Islam harus
merujuk kepada Al-Qur’an terlebih dahulu.
- Jika terdapat nash yang
jelas (qath’i), maka itu menjadi pegangan utama.
- Namun, jika ayat bersifat
global atau belum jelas (zhanni), maka diperlukan penafsiran, bisa melalui
hadits atau ijtihad ulama.
2. Hadits
(Sunnah Nabi)
Hadits adalah segala perkataan,
perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad SAW yang menjadi penjelas (bayan) atas
Al-Qur’an.
Aswaja
memposisikan hadits sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an:
- Hadits menjelaskan
hukum-hukum yang belum dijelaskan secara rinci dalam Al-Qur’an.
- Hadits dapat memperkuat,
memperinci, bahkan dalam beberapa kasus menetapkan hukum yang tidak
disebut dalam Al-Qur’an.
- Aswaja menggunakan hadits
shahih dan hasan dalam menetapkan hukum, serta berhati-hati terhadap
hadits dhaif.
3. Ijma’
(Konsensus Ulama)
Ijma’ adalah kesepakatan para ulama
mujtahid dari generasi tertentu dalam menetapkan suatu hukum setelah wafatnya
Nabi.
Dalam
pandangan Aswaja:
- Ijma’ adalah hujjah yang
kuat karena menunjukkan kesepakatan umat atas suatu hukum.
- Ijma’ mencerminkan
kehati-hatian, kebijaksanaan, dan kemaslahatan yang disepakati oleh para
ulama.
- Contoh ijma’: kewajiban
shalat lima waktu, haramnya menikah dengan mahram.
4. Qiyas
(Analogi)
Qiyas adalah metode penetapan hukum
terhadap suatu masalah baru yang belum disebutkan secara eksplisit dalam
Al-Qur’an dan Hadits, dengan cara menganalogikan kepada hukum yang sudah ada
karena adanya kesamaan illat (sebab hukum).
Aswaja
menerima qiyas sebagai metode ijtihad:
- Qiyas merupakan bentuk
penggunaan akal dalam kerangka syariat.
- Ulama Aswaja, khususnya dari
mazhab fiqih seperti Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad bin
Hanbal, banyak menggunakan qiyas dalam menyikapi persoalan kontemporer
5.
Istihsan
Istihsan adalah mengesampingkan qiyas
yang umum demi menggunakan hukum yang lebih ringan dan maslahat dalam kasus
tertentu.
Pandangan
Aswaja:
- Digunakan oleh ulama
Hanafiyah dan Malikiyah.
- Diterima secara terbatas
oleh mazhab Syafi’i.
- Istihsan membantu dalam
menerapkan hukum yang lebih manusiawi dan realistis.
6.
Maslahah Mursalah
Maslahah
Mursalah adalah
pertimbangan hukum berdasarkan kemaslahatan umum yang tidak disebutkan secara
eksplisit dalam nash, namun tidak bertentangan dengannya.
Aswaja
menerima maslahah sebagai dasar hukum jika:
- Maslahah itu nyata dan
penting.
- Tidak bertentangan dengan
Al-Qur’an dan Hadits.
- Contohnya: pembuatan KTP,
akta nikah, lalu lintas, dsb.
7. 'Urf
(Adat atau Kebiasaan)
‘Urf adalah tradisi atau kebiasaan
masyarakat yang tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Dalam
fiqih Aswaja:
- ‘Urf bisa menjadi
pertimbangan dalam menetapkan hukum, selama tidak menyalahi nash.
- Contoh: adat mahar di suatu
daerah, adat pernikahan, dan sebagainya.
Penutup
Ahlussunnah
wal Jamaah adalah golongan yang mengikuti jalan pertengahan dalam memahami dan
menetapkan hukum Islam. Mereka berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah, namun juga
membuka ruang bagi akal dan ijtihad ulama melalui ijma’, qiyas, istihsan,
maslahah, dan ‘urf.
Pendekatan
ini menjadikan hukum Islam bersifat dinamis, kontekstual, dan relevan
sepanjang zaman, tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasar syariat. Inilah
warisan metodologi hukum dari para ulama salaf yang masih terus dipelihara
hingga kini oleh kalangan Aswaja.